Ayo Gabung!
Bersehati dalam melayani. Mejuah-juah Tuhan Yesus Si Masu-masu.     Selamat datang di blog Musik Gerejawi Karo: menyuguhkan konten-konten yang berkaitan dengan musik gerejawi Karo | Menyatukan umat Kristen Karo dari semua denominasi dan aliran dalam Kasih Kristus dan solidaritas Karo.       | Pusatnya partitur lagu-lagu Karo, khususnya lagu(musik) gerejawi(rohani) Karo.    KARO INJILI BERDOA: Setiap Rabu(malam Kamis), Pukul 19.30 WIB       | Cari PARTITUR LAGU KARO di sini tempatnya. | Mari bersama lestarikan musik Karo dengan mendokumentasikan dalam bentuk partitur. Kontak/info ke ADMIN twitter: @MGK_Simalem, @Bastanta_PS366, @KARO_ERDILO, Pin BB: 524D3EA5. Mejuah-juah

Sabtu, 04 April 2015

Perayaan Paskah KAKR GBKP Suban

BASTANTA P. SEMBIRING. JAMBI. Beberapa hari yang lalu seperti mana kita ketahui seluruh umat Kristen di seluruh penjuru dunia memperingati Kamis Putih dan Jumat Agung. Dimana dalam kalender gerejawi Kristen, Kamis Putih(Kamis Suci) jatuh pada Minggu pertama di bulan April yang dipercayai sebagai hari dimana Yesus ditangkap setelah perjamuan terakhir yang dilakukan-Nya dengan para murid dan keesokan harinya disalibkan di Bukit Golgota yang dikenal dengan Jumat Agung.

Bagi orang yang percaya, setelah disalibkan, mati dan dikuburkan, pada hari yang ketiga Yesus bangkit dari maut. Itulah hari Paskah ataupun kebangkitan Yesus dari kematian, seperti yang dituliskan di dalam Alkitab.
Paskah juga dikenal sebagai hari kemenangan dan kebebasan. Dimana Yesus telah bangkit dari mati mengalahkan maut dan pengorbanan darah Yesus yang mengalir di kayu salib membebaskan umat-Nya dari cengkraman dosa, setelah sekian lama manusia jatuh ke dalam dosa sejak Adam manusia pertama jatuh ke dalam dosa.

Banyak cara yang dilakukan untuk memperingati ataupun merayakan Paskah. Mulai dari mencari telur Paskah, lomba cerdas tangkas Alkitab, prosesi jalan salib, dll seperti salah satunya yang dilakukan KA/KR di GBKP Suban(Jambi).
Dengan megelar obor, anak KAKR GBKP Suban, Jambi
berpawai munuju gereja.

Sejak Pukul 05.00 wib dini hari tadi, anak-anak ini telah berkumpul di halaman depan rumah Pt. Em. B. Sitepu, kemudian mereka berjalan sekitar 100 meter ke gereja dengan menggelar obor ditemani guru sekolah Minggu dan beberapa orangtua menuju gedung gereja sambil menyanyikan lagu-lagu pujian bagi Tuhan. Merefleksikan jalan salib yang dialami Yesus sekitar 2000 tahun lalu, itulah tujuan dari kegiatan ini.

Menurut beru Sembiring salah seorang guru sekolah Minggu di GBKP Suban, kegiatan ini dilakukan setiap perayaan Paskah dan bertujuan untuk media pembelajaran bagi anak kecil dan remaja agar dengan demikian mereka semakin mengerti akan makna dari rangkaian hari-hari besar dalam kelender gerejawi, khususnya hari Paskah, dimana Yesus telah mati di kayu salib sebagai penebus dosa kita, dikubur dan bangkit dari kematian mengalahkan kuasa maut.

Lebih lanjut beru Sembiring katakan, anak-anak sangat menikmati kegiatan ini, walau jalan yang dilalui menanjak, agak becek dan licin karena tadi malam turun hujan, bahkan hingga saat berita ini disusun hujan masih turun. Namun, sejauh ini semua senang mengikuti kegiatan ini dan berjalan lancar.

Ibadah Subuh Paskah KAKR GBKP Suban
Selanjutnya, anak-anak ini dikumpulkan di halaman gereja dan menggelar api unggun sembari kembali mengangkat lagu-lagu pujian bagi Yesus dan mereka akan mengikuti serangkaian kegiatan, salah satunya yang selalu dinanti-nantikan saat Paskah ialah mencari telur Paskah, namun sebelumnya mereka mengikuti ibadah yang dibawakan(Firman Tuhan) oleh Pdt. Jonathan Ginting. Saat berita ini dikirim acara perayaan Paskah KA/KR GBKP Suban masih berlangsung. Mejuah-juah dan Selamat Paskah Sirulo.


Selasa, 24 Maret 2015

Pijer Podi

PIJER PODI
Oleh: Bastanta P. Sembiring

Banyak dalam dokumen masyarakat Suku Karo kita temukan kata “pijer podi”. Misalkan dokumen persadaan(organisasi), baik kuta, kuta kemulihen(daerah asal), Credit Union(CU), merga, kepemudaan, kepanitiaan, keagamaan, bahkan hingga dokumen pemerintahan.
Salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, yakni Kabupaten Karo juga menjadikan kata ini sebagai mottonya. Tetapi, dari sekian banyaknya dokumen-dokumen tersebut yang menuliskan kata pijer podi, tidak banyak orang, juga orang Karo sendiri sekarang ini yang memahami arti dan makna dari kata pijer podi.

Sering muncul pertanyaan, apa sebenarnya arti pijer podi? Dan dengan mudah yang lainnya menjawab, gotong royong.

Namun, cukupkah kita menjawab, pijer podi sama dengan gotong royong?

Untuk itu saya mencoba membuka dalam bentuk tulisan ini, semoga diwaktu akan datang dapat didiskusikan lebih mendalam dan menghasilkan pemikiran-pemikiran yang dapat menjadi pencerahan bagi masyarakat Karo ke depannya.

Pijer Podi menurut Cakap(Bahasa Karo) Karo

Pijer Podi berasal dari dua suku kata, yakni: “pijer” dan “podi”. Pijer berarti: pijar(bara), solder, ataupun patri. Sedangkan kata podi berarti: serbuk(hasil kikiran) emas ataupun perak yang dicampur dengan boraks untuk dilumaskan pada permukaan patrian agar erat, kokoh, juga mempercantik(membentuk motif/hiasan).

Erpodi dalam masyarakat tradisional Suku Karo, adalah kegiatan mematri sebuah benda dengan melumasinya dengan serbuk emas, ataupun perak yang dicampur boraks agar erat dan kokoh. Selain untuk memperkuat patrian, kegiatan ini juga untuk membentuk motif/hiasan pada benda-benda.

Jadi, pijer podi dapat kita simpulkan: patrian khusus dari serbuk emas/perak yang dicampur dengan boraks agar erat dan kokoh.


Pijer Podi sebagai motto pemersatu Suku Karo

Photo: Juara R. Ginting
Sebuah semboyan ataupun motto yang diciptakan oleh satu komunitas atau dijulukkan oleh orang luar terhadap komunitas tersebut, tentunya memperhatikan aspek internal dari komunitas tersebut. Misalkan, julukan “Bumi Turang” untuk Taneh Karo ataupun “pijer podi” sebagai motto dari Kabupaten Karo dan juga banyak perkumpulan Karo lainnya.

Kemudian mari kita merenung sejenak. Apakah atau dapatkah kita katakan pijer podi sebagai motto pemersatu Suku Karo dahulu, sekarang, dan esok?

Coba perhatikan “Sangkep Nggeluh Kalak Karo”, yakni: Merga Silima, Tegun/Sangkep Siempat, Tutur Siwaluh, dan Perkade-kaden Sisepuluhdua. Dimana semua ini(sangkep nggeluh-red) dimiliki setiap orang Karo ataupun yang telah dikarokan sejak dahulu. Artinya, tidak ada orang Karo atau yang telah dikarokan tidak memiliki ataupun dirangkul oleh sangkep nggeluh ini. Begitu kita dilahirkan sebagai orang Karo atau dikarokan, maka kita telah dirangkul dengan erat oleh sangkep nggeluh tersebut.

Kita setuju pondasi/dasar dari tatanan sosial Suku Karo, adalah Sangkep Siempat ataupun “tegun/terpuk siempat”, yakni: 1 Sembuyak, 2 Anak Beru, 3 Kalimbubu, dan 4 Senina. Kita ambil satu contoh aplikasinya pada ‘runggu(meetings)’ Suku Karo. Misalkan pada kerja-kerja(hajatan/upecara adat). Setiap orang Karo ataupun yang dikarokan akan mengalami semua posisi tersebut. Karena ini akan berputar.

Dalam runggu Karo, harus kuh(lengkap) sangkep nggeluh siempat(Sembuyak, Kalimbubu, Anak Beru, dan Senina) ini. Jika salah satu dari keempat pondasi atau misalkan kita katakan tiang ini kurang satu saja, maka tentunya bangunan akan miring bahkan akan runtuh. Demikian juga dalam runggu, jika salah satu tegun(kelompok) tidak ada, maka bagaimana dapat dilakukan runggu menurut adat istiadat Karo. Tidak percaya?

Coba perhatikan misalkan perjabun(pernikahan) orang Karo di perlajangen(tanah rantau). Apakah dalam runggu(musyawarah/meeting) untuk merencanakan hajatan tersebut salah satu pihak keluarga dapat katakan, kita mulai saja runggu ini, sebab Anak Beru kami jauh di Taneh Karo sana. Tentu tidak. Pastinya diusahakan agar setiap tegun(4 terpuk) itu hadir. Setidaknya dicarikan yang dapat mewakilinnya. Artinya, tiang harus lengkap 4(empat). Bukan dua atau pun tiga. Harus empat!


Jadi nyata sekali implementasi pijer podi ini pada kehidupan masyarakat Karo melalui sangkep nggeluh, sehingga tidaklah mengherankan jika orang Karo katakan, “Kam kap aku. Aku kap kam” atau dalam bahasa Indonesianya, “Aku adalah engkau dan engkau adalah aku.” Ini sebagai gambaran betapa eratnya, kokohnya, dan indahnya persaudaraan Karo itu. Jadi pijer podi memenuhi syarat sebagai motto hidup masyarakat Karo.

Namun, bagaimana jikalau keempat pondasi yang melatari pijer podi itu kurang(komposisi tidak lengkap)? Maka  ibarat bangunan akan miring bahkan runtuh, demikian juga tatanan sosial Karo. Sebab tidak ada lagi pondasi yang kokoh dapat menyokong kekerabatan pada Suku Karo itu. Jadi, ola main-main teman, “sangkep siempat” e harga mati.

Memperaktekkan pijer podi?

Sekarang ini, hampir di seluruh wilayah Indonesia dapat ditemukan orang Karo. Bahkan hingga ke luar negeri. Baik yang hidup sendiri-sendiri jauh dari komunitas Karo, ataupun yang berkelompok dan membentuk perkumpulan orang Karo. Artinya, orang Karo telah terpencar dari wilayah-wilayah Karo.

Bahkan pada dasarnya, Karo itu sendiri telah terbagi-bagi menurut kelompok wilayah adatnya, dialek dan aksen bahasa, bahkan hingga adat praktisnya. Namun, itu semua bukan jadi masalah selama orang Karo memegang teguh motto “pijer podi” dalam menjalankan “sangkep nggeluh”. Dan itu terbukti.

Untuk itu, tentunya motto pijer podi perlu kembali dihidupkan dan menjadi semboyan hidup bagi semua masyarakat Suku Karo atau yang telah dikarokan. Dimana, kita hidup dan diikat dengan erat, kokoh, dan indah dalam ikatan persaudaraan Karo yang kita kenal dengan “Sangkep Nggeluh Kalak Karo”.

Menanggapi hal ini, saya tertarik dengan motto yang dikemukakan Pdt. Edi Suranta Ginting kepada setiap anggota dalam lembaga yang beliau pimpin dengan KKK(3K)-nya. Yakni: 1 Kristus, 2 Karo, dan 3 Kaya.

Dalam hal ini, mengingat masyarakat Karo hidup dalam kepercayaan yang beraneka ragam, maka “K(Kristus)” yang pertama saya ganti dengan “kiniteken”, dan menambahkan satu “k” lainnya, yakni: keluarga(jabu: kekeluargaan).

Menurut saya, erat dan teguh suatu komunitas(-Karo) dapat terjadi apabila didasari pada 4K yang menjadi perayaken(target pencapaian) bersama setiap masyarakatnya, yakni:

1. Kiniteken(kepercayaan),
2. Kinikaron(tradisi),
3. Keluarga(jabu: kekerabatan/kekeluargaan), dan
4. Kebayaken(kekayaan).

Dan akan menjadi indah jika 4S sebagai gelemen(pegangan) untuk mengukir 4K sebagai perayaken di atas, yakni:

4. Sitandan(saling mengenal/memahamai),
2. Siajar-ajaren(saling mengajari, memperingatkat, berbagi ilmu,dlsb)
3. Sisampat-sampaten(saling membantu), dan
4. Sikeleng-kelengen(saling mengasihi dan menyayangi).

Pertemuan antara 4K dan 4S dalam berperan/menjalankan ‘sangkep nggeluh’ akan menghasilkan pijer podi(4K+4S=Pijer Podi), yakni: ikatan yang erat, kokoh, dan indah.” Mejuah-juah.


Artikel ini juga dipublikasikan di:
http://www.sorasirulo.com/2015/03/18/pijer-podi-1-arti-kata/
http://www.sorasirulo.com/2015/03/19/pijer-podi-2-motto-suku-karo/
http://www.sorasirulo.com/2015/03/20/pijer-podi-3-praktek/


Kamis, 19 Februari 2015

Babalah Persembahen Simerimna


Ay.2
'Ndeskenlah persembahenta man ba-Na
Tanda lias keleng kap ate-Na
Jadi kap persembahen si Badia
Man Yesus Tuhanta Siperkuah

G'lah tetap lias ras keleng ate-Na
Nandangi doni enda
Emaka ernalem saja man ba-Na
Segedang-gedang geluhta.



Selasa, 02 Desember 2014

Djaga Depari

Djaga Sembiring Depari dan Ir. Soekarno
Djaga Sembiring Depari ataupun Djaga Depari, adalah seorang komponis nasional asal Karo, dari merga Sembiring, sub-merga Depari. Di kalangan masyarakat Karo, Djaga Depari bukan hanya dikenal sebagai seorang komponis, tetapi beliau juga dikenal sebagai seorang pejuang kebudayaan dan pejuang kemerdekaan melalui media syair dan lagu (musik). Tampak jelas dari karya-karyanya yang bernafaskan kehidupan masyarakat Karo di zaman penjajahan, baik yang bertemakan asmara muda–mudi maupun menentang penjajahan dan politis. Syair dan lagunya mampu menggugah para pendengar untuk bangkit dan bersatu melawah penjajahan, seperti: piso surit, pinta-pinta, bunga-bunga nggeluh, erkata bedil, sora mido, perkantong samping, Taneh Karo simalem, mejuah-juah, padang sambo, dan masih banyak lagi, yang menurut beberapa orang Djaga Depari pernah menulis ratusan lagu.

Lahir di Kuta Seberaya salah satu desa di Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo, pada 5 Mei 1922  dari ayah seorang mandor besar di Deli Hulu bernama Ngembar Sembiring Depari dan ibunya Siras Beru Karo Sekali; Djaga Depari tumbuh seperti anak-anak pada umumnya, bermain, bergaul, dan mengecap pendidikan, baik formal dan non-formal(tradisional Karo). Djaga Depari cukup beruntung dengan keadaan keluarganya yang membuatnya memiliki akses untuk dapat mengecap pendidikan modern di Christelijk Hollandsch Inlandsch School (Christelijk HIS) di Kabanjahé(sekarang ibukota Kabupaten Karo) sekitar tahun 1935. Di sinilah bakat bermusiknya sudah mulai tampak. Dia kerap tampil bernyanyi di depan kelas yang membuatnya dikenal dan disenangi baik oleh guru dan teman-temannya. Bahkan, bersama teman-temannya saat duduk di HIS, Djaga Depari membentuk sebuah band musik dimana beliau sendiri bermain biola dan mulai menulis syair dan lagu.

Djaga Depari menjadi tonggak awal lahirnya musik Karo modern. Dari karya-karyanya yang tidak hanya terpaku pada genre tradisonal(klasik) Karo(gendang telu sedalanen lima se(sada) perarihen : gendang Karo yang memainkan odak-odak/rhythm Karo) yang kemudian menjadi refrensi bagi pemusik Karo di generasi berikutnya. Djaga Depari diketahui senang mendengar musik-musik manca negara dari gramafon(pemutar piringan hitam). Musik-musik yang pernah beliau dengarkan dan tentunya musik Eropah(khususnya Belanda) yang dipelajari di sekolah, kemudian menjadi refrensinya dalam bermusik. Namun, syair-syairnya masih mempertahankan kekhasan lirik Karo yang kaya akan gaya bahasa(kiasan, analogi, perumpamaan, dan idiom), yang menjadi nilai plus dalam syair tradisional(klasik) Karo.

Berikut beberapa contoh syair karya Djaga Depari

1.    Piso Surit
Piso surit. Piso surit.
Terdilo-dilo. Terpingko-pingko.
Lalap la jumpa ras aténa ngena.

Ija kel kéna tengahna gundari
Siang me énda turang aténa wari
Entabeh naring mata kéna tertunduh
Kami nimaisa turang ngamburken iluh

Ref…
Enggo-enggo mé dagéna
Mulih mé dagé kéna
Bagé me nindu rupa ari o, turang

Tengah kesain keri kel lengetna
Rembang mekapal turang
Seh kel mbergehna
Terkuak manuk ibabo geligar
Enggo mé selpat turang
Kité-kité ku lépar

2.    Pio-pio
O tengah berngi singongo terbegi sora pio-pio
Tengah kesain lino seh kel lengetna
Ola lupa aku kerna padan pengindo

Tengah kesain lino seh lengetna
Siatéku jadi pé ‘nggo entabeh perpedemna
O pio-pio tergangen min sora kéna
Gelahna medak turang kel atéku ngena

Rusur kel aku terlebuh terdilo
Turang bésan la megogo
Ras erlebuh-leuh erpeligko

Ah enggo mé mulih dagé aku
Perpulihku pe bagi pertandang pertabu
Lawes la erbetehen bagé me ndubé aku
Mulih kin  pé aku labo lit si ngepken aku

3.    Tenah Lau Bingé”
Gundera lenga rirang ken jéra o, rudang si mayang
Gundera lenga rirang ken jéra o, iketen buluh la belobo
Ndé erlumut-lumut tapina Selandi
Ndé erlumut-lumut tapina Selandi
Uga pa denga ningku nirangken kéna o, turang si besam
Uga pa denga ningku nirangken kéna o, iketen pusuh la megogo
Ndé ‘nggo ‘rulut-ulut k­éna atéku jadi
Ndé ‘nggo ‘rulut-ulut kéna atéku jadi.

Bagékin gia ula nai kéna ertenah mama biring nindu
Bagekin gia ulanai kéna ertenah beré Ginting nindu kukelengi
Pas bagi ngayaki batuna megulang,
Amin iayakidu erdauhna mesayang

É, Padang Bulan nina Simpang Selayang o, Nd. Gintingku
Padang Bulan nina Simpang Selayang oh, Nd. Itingku la megogo. Énda singgah aku bagénda turang
Énda singgahkel aku kilometer sepuluh

Terang bulan aku terbayang-bayang o, beré Tiganku
Terang bulan aku terbayang-bayah o, turang singuda la megogo
É, tarem nginget-nginget kena o, morahkel atéku
Piah terangna ‘nggo wari mataku la banci tunduh.

4.     “Bolo-bolo
Berastagi ku Bandarbaru baka langgé rudang
Sarinembah sinuan buluh
Jénda ersentabi kami lebé kami man bandu bapa, nandé, turang
Rikutken nembah jari-jari sepuluh

Enda tualuh kabang ku bingé ari langgé
Kuidah cinepna i Sanggarpura
Ijénda sipalu bagénda gendang saruné bibi – nandé
Rikut totoken gelah cawir kam metua

Ersigar-sigar si bulung kenas baka rudang,
Meruah-ruah i Juma Lepar
Sibar bag­é me lebé toto ku belas nandé, bapa, turang
Mejuah-juah kerina kita peképar

La erlada-lada jéra si tangké ropah sapé rudang
Ku ruah-ruah batang siregi-regi
La ersada-sada apai pé la erndobah ari turang
Mejuah-juah kam kerina simegi-megi

Ndé pola pia persabahen lau tengguli biji langgé
Sibaba cuan kel ngé jadiken camet
Ola kel tersia kerina toto mehuli bibi – nandé
Uga ni sura bagé padi ni dapet

Ersigar-sigar si bulung kenas langgé baka rudang,
Enda ngincuah dalin tapinna Kandibata
Cibar bagem me lebé toto ku belas nandé, bapa, turang
Mejuah-juah dagé pendungi kata
  
Lulus dari HIS tahun 1939, Djaga Depari memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya, walau hal ini tentunya sangat mengecewakan sang ayah yang ingin dia terus melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Namun, segala konsekuansi ditempuh Djaga Depari dan lebih memilih untuk mendalami karir musiknya. Hal ini tentunya tidak mudah, mengingat pada masa tersebut, di Sumatera Timur, khususnya lagi di Taneh Karo, musik sebagai karir major untuk menopang kehidupan adalah hal yang sangat sulit. Walau demikian, pastilah Djaga Depari kuat melewati masa-masa sulit ini, hingga sampai saat sekarang ini kita masih dapat menikmati karya-karya beliau.

Sekitar tahun 1940-an Djaga Depari memutuskan untuk hijrah ke Medan. Di Medan beliau mengikuti kursus bahasa asing, mengetik dan administrasi, dan tentunya terus mengasah kemampuan biola dan bakatnya dalam mengarang syair dan lagu. Bersama Mayor Yusuf  seorang pensiunan polisi, Djaga Depari membentuk orkes musik bernama “Melati Putih” yang kemudian sangat populer dikalangan masyarakat Sumatera Timur, khususnya masyarakat Karo – Melayu. Hal ini membuat Djaga Depari juga semakin dikenal dan disenangi, bukan hanya oleh rakyat biasa, tetapi para kaum bangsawan juga para pengusaha di Sumatera Timur, salah satunya keluarga Kesultanan Serdang. Kedekatannya dengan para kaum terpandang di Sumatera Timur membuatnya memiliki akses dengan mudah dalam beberapa hal, seperti pekerjaan, sehingga dengan popularitas, kemampuan  bermusik, kemampuan berbahasa asing(terutama Belanda dan Ingris), dan berbekal izajah HIS, tahun 1942 Djaga Depari dapat bekerja di Kantor Perwakilan Kesultanan Serdang di Bangun Purba dengan gaji awal 15 guilden per bulannya.

Keberadaan Djaga Depari di orkes ‘Melati Putih’ yang notabenenya ditengah-tengah kalangan multi etnis di Kota Medan, membuat penulis berasumsi, tentunya pada masa-masa itu Djaga Depari juga aktif dalam menulis lagu di luar syair berbahasa Karo, mengingat orkes tersebut populer di kalangan multi etnis Kota Medan khususnnya para bangsawan Melayu. Hal ini sudah barang tentu dapat diterima, walau pun tidak cukup tersedia informasi akan hal ini.

Tahun 1943 saat Jepang masuk ke Sumatera Timur, Djaga Depari kembali ke Seberaya. Di desa kelahiranya Seberaya, Djaga Depari kemudian menikah dengan impalnya Djendam Beru Pandia dan dikaruniai tujuh orang anak dan menghabiskan masa tuannya dan terus berkarya hingga tutup usia pada 15 Juli 1963 pada usianya yang ke-41 tahun.

Djaga Depari meninggalkan kenangan manis bukan hanya bagi keluarga dan para penggemarnya, tetapi juga menjadi tokoh sejarah kebanggaan bagi masyarakat Karo, masyarakat Sumatera Utara, dan juga Indonesia. Atas jasa dan karyanya kemudian didirikan sebuah tugu(patung) untuk mengenang Djaga Depari di Kota Medan dan tugu Piso Surit di Seberaya. Selain itu, jasa dan karya beliau juga mendapat pengakuan dan penghargaan dari pemerintah, baik Pemerintah Kabupaten Karo(Piagam Anugerah Seni dari Bupati Dati II Kab. Tanah Karo), Pemeritah Provinsi Sumatera Utara (Piagam Anugerah Seni dari Gubernur Sumut, 13 Juli 1979), dan Pemerintah Republik Indonesia (Piagam Anugerah Seni dari Presiden RI, 2 Mei 1979).

Berikut beberapa karya Djaga Sembiring Depari yang populer di asyarakat (daftar dibuat berdasarkan abjad).

01.     Anak Melumang
02.     Andiko Aléna
03.     Arikokéna
04.     Bagi Kersik Ndabuh ku Lau
05.     Bintang Similep-ilep
06.     Bunga-bunga Nggeluh
07.     Bunga ‘Colé
08.     Bunga Dawa
09.     Bulan simacem-macem
10.     Bulan Purnama
11.     Bunga Pariama
12.     Bolo-bolo
13.     Cikala Nguda
14.     Ciké Lambang Bungana
15.     Ciké Cur
16.     Cit Nina Pincala
17.     Dalin ku Rumah
18.     Deleng Simolé
19.     Émbas-émbas
20.     Erkata Bedil
21.     Famili Taxi
22.     Gelumbang Erdeso
23.     Gerdang Gerdung
24.     Ija Sayngku Ndai
25.     Iyo-iyo Lau Beringen
26.     Kuda Gara
27.     Kacang Goréng
28.     Kacang Koro
29.     Kaperas Sigé
30.     Keri Bengkuang
31.     Lasam-lasam
32.     Lampas Tayang melaun Tunduh
33.     Maké Anjar
34.     Mari Kéna
35.     Mejuah-juah
36.     Mbaba Kampil
37.     Musuh Suka
39.     Nangka Nguda
40.     Ndigan ndigan ndigan
41.     Ola Gélangken
42.     Onggar-onggar
43.     Padang Sambo
44.     Pecat-pecat Seberaya
45.     Perkantong Samping
46.     Perkedé La Megogo
47.     Pernantin
48.     Pio-pio
49.     Pinta-pinta
50.     Piso Surit
51.     Purpur Sagé
52.     Roti Manis
53.     Rudang Mayang
54.     Rudang-rudang Mejilé
55.     Rumba Karo
56.     Sanggar-sanggar
57.     Seni Karo
58.     Simbincar Layo
59.     Simulih Karaben
60.     Sué – sué
61.     Sora Mido
62.     Taneh Karo Simalem
63.     Tenah Lau Bingé
64.     Telnong Keri Minakna
65.     Terang Bulan
66.     Terbuang
67.     Tiga Sibolangit
68.     Tual La Tolé
69.     Tunduh-tunduh
70.     Turang
71.     Uis Gara
72.     U S D E K
73.     Wayah É Wayah
74.     Dll.



(Jika ada informasi tambahan/perlu-diperbaiki untuk memperbaiki isi tulisan ini yang Anda ketahui. Silahkan sampaikan pada kolom komentar di bawah. Mejuah-juah.)